Sabtu, 19 Maret 2016

MENGHARGAI KEBERAGAMAN


Tragedi “Bentrokan karena beda agama, 12 orang pencari Suaka di buang ke laut tengah”, menggugah hati saya bahwa perbedaan itu terkadang menjerumuskan orang untuk saling bermusuhan, membenci bahkan timbul sikap diskriminatif. Menganggap orang lain itu tidak ada nilainya di mata mereka. Sikap yang demikian melukiskan bahwa manusia tidak lagi menyadari dirinya sebagai mahkluk sosial, dimana menganggap orang lain seperti “benda” bukan pribadi. Apabila sesorang menganggap orang lain sebagai pribadi maka dia sadar bahwa seseorang itu memiliki kesadaran bahwa memperlakukan orang lain secara keji adalah pengkhianatan terhadap Allah. Ada Firman “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku  yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk AKU” Matius, 25 : 40). Jika kesadaran ini ada didalam hati setiap insan, tentu saja akan menimbulkan sikap solidaritas terhadapa orang lain. Jika  orang bersalah kepada kita reaksi yang muncul adalah menerima dan siap untuk memaafkan. Memang hal ini tidak mudah untuk  jalani, tetapi  kemauan pengolahan diri untuk memaafkan itulah yang harus ada dalam diri. Hal ini memiliki power yang luar biasa untuk menciptakan sikap solider dengan orang lain.

Tetapi jika sesorang mengganggap orang lain sebagai “benda” yang tidak memiliki perasaan, hati nurani, maka sangat gampang untuk mencelai orang lain yang tidak disukai, dibenci bahkan disingkirkan dari hadapan. Ini bahaya yang sekarang mengancam pikiran dan nurani manusia. Pola piker yang keliru, hati nurani yang tumpul “mati rasa” dapat menutup pintu hati kepada orang. Sikap seperti adalah membuka ambang pintu bagi kehidupan sosial. Baik kehidupan sosial politik, sosial kultural maupun dalam sosial ekonomi. Era globalisasi telah memperkaya manusia dengan paradigm-paradigma  tetapi telah memiskinkan nurani manusia   sehingga memiskinkan dialog antar sesame manusia yang berpijak di bumi yang satu. Akhirnya keberagaman bukan lagi sebagai suatu kekayaan tetapi suatu malapetaka yang membabibutakan nurani manusia zaman ini. Tak bisa dipungkiri lagi, inilah kenyataan yang ada. Bagaimana dengan saya yang terdidik untuk menyuarakan Humanisme, melantunkan solidaritas ? Tidak!!! Saya mempunyai mimpi untuk hidupku, “Jadikan hidupku bermakna bagi orang lain”.

2 komentar:

Terima kasih atas komentar, saran dan kritik saudara/i yang sangat bermakna. Tuhan memberkati anda