Tragedi “Bentrokan karena beda
agama, 12 orang pencari Suaka di buang ke laut tengah”, menggugah hati saya
bahwa perbedaan itu terkadang menjerumuskan orang untuk saling bermusuhan,
membenci bahkan timbul sikap diskriminatif. Menganggap orang lain itu tidak ada
nilainya di mata mereka. Sikap yang demikian melukiskan bahwa manusia tidak
lagi menyadari dirinya sebagai mahkluk sosial, dimana menganggap orang lain
seperti “benda” bukan pribadi. Apabila sesorang menganggap orang lain sebagai
pribadi maka dia sadar bahwa seseorang itu memiliki kesadaran bahwa
memperlakukan orang lain secara keji adalah pengkhianatan terhadap Allah. Ada
Firman “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari
saudaraku yang paling hina ini, kamu telah
melakukannya untuk AKU” Matius, 25 : 40). Jika kesadaran ini ada didalam hati
setiap insan, tentu saja akan menimbulkan sikap solidaritas terhadapa orang
lain. Jika orang bersalah kepada kita
reaksi yang muncul adalah menerima dan siap untuk memaafkan. Memang hal ini
tidak mudah untuk jalani, tetapi kemauan pengolahan diri untuk memaafkan
itulah yang harus ada dalam diri. Hal ini memiliki power yang luar biasa untuk
menciptakan sikap solider dengan orang lain.
Tetapi jika sesorang mengganggap
orang lain sebagai “benda” yang tidak memiliki perasaan, hati nurani, maka
sangat gampang untuk mencelai orang lain yang tidak disukai, dibenci bahkan
disingkirkan dari hadapan. Ini bahaya yang sekarang mengancam pikiran dan
nurani manusia. Pola piker yang keliru, hati nurani yang tumpul “mati rasa”
dapat menutup pintu hati kepada orang. Sikap seperti adalah membuka ambang
pintu bagi kehidupan sosial. Baik kehidupan sosial politik, sosial kultural
maupun dalam sosial ekonomi. Era globalisasi telah memperkaya manusia dengan
paradigm-paradigma tetapi telah
memiskinkan nurani manusia sehingga
memiskinkan dialog antar sesame manusia yang berpijak di bumi yang satu.
Akhirnya keberagaman bukan lagi sebagai suatu kekayaan tetapi suatu malapetaka
yang membabibutakan nurani manusia zaman ini. Tak bisa dipungkiri lagi, inilah
kenyataan yang ada. Bagaimana dengan saya yang terdidik untuk menyuarakan
Humanisme, melantunkan solidaritas ? Tidak!!! Saya mempunyai mimpi untuk hidupku,
“Jadikan hidupku bermakna bagi orang lain”.
MANTAP BANET...
BalasHapusmantap Banget saudara...........
BalasHapus